Ini tahun pertama kami
menjalani puasa ramadan tanpa Bapak. Sejak Bapak meninggal tahun lalu di
Mekkah, kami hanya bertiga yang tinggal di rumah ini : Saya, Ibu dan adikku.
Sesungguhnya kami merasakan kegetiran yang amat bila teringat Bapak. Bukan
meratapi kematian Bapak, tapi… Ah, sudahlah.
Menurut Ibu, yang
mendampingi Bapak selama rangkaian ibadah haji, Bapak meninggal dua hari
sebelum kepulangan ke tanah air. Artinya Bapak sudah selesai menunaikan rukun
haji yang disyaratkan. Pada detik-detik kepulangan ke tanah air itulah fisik
Bapak mengalami kemerosotan. Bapak sering mengeluh jantungnya berdebar kencang,
pusing dan mual. Mungkin Bapak mengalami kelelahan yang teramat.
Pada saat Ibu
mengabarkan kabar duka tersebut, saya sedang berada di kantor. Persisnya sedang
melayani tamu yang meminta konsultasi. Saat itu, tamu yang sedang saya hadapi
adalah seorang pria paruh baya yang sedang menekan saya karena surat himbauan
yang saya kirim dua minggu lalu. Ia nampak berapi-api. Ngotot. Saya hanya
tersenyum dan sesekali meladeninya dengan santai. Pun setelah pria itu berlalu
pamit tanpa kata sepakat.
Entah mengapa,
tiba-tiba suaraku tercekat. Aku limbung. Ada penyesalan di sana. Membayangkan
bagaimana keadaan Ibuku di sana? Apakah ia baik-baik saja?
Kini, hampir setahun
peristiwa itu berlalu. Yang tersisa hanya penyesalan mengapa aku belum mampu
berbuat baik kepada Bapak sewaktu masih hidup?
Jakarta, 22 Juni 2016 –
Mengenang Bapak
No comments:
Post a Comment