Malam
hampir meninggalkan jejaknya. Sayup-sayup terdengar suara murottal dari pengeras suara masjid di ujung jalan. Mataku masih
terpejam, susah sekali berkompromi dengan pagi. “Kriiiiinggggg…”. Tiba-tiba
suara alarm berbunyi. Pukul 03.45
subuh, saatnya bangun pagi. Kuambil telepon seluler. Ada dua pesan belum
terbaca di sana. Dari sebuah nomor : 0811-xxx. Nomor tersebut tidak terlalu
asing bagiku. Nomor seorang pimpinan perusahaan pemasok alat-alat elektronik
yang sedang bermasalah terkait dugaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum
disetor.
Pesan
pertama berbunyi : “Pengisian pulsa dari
Mitracell sebesar Rp 500.000,00 berhasil. Kode Transaksi : 0512469854125…”.
Pesan kedua berbunyi : “Maaf Pak, saya
kirimi pulsa untuk sekadar menyambung silaturahmi. Terima kasih”. Mataku
terbelalak membaca pesan itu. Segera saya beranjak dari tempat tidur : cuci
muka, gosok gigi kemudian berwudhu.
Dalam
salat, diam-diam saya merasa gamang. Memikirkan isi pesan yang baru saya baca.
Sisi hatiku mengatakan, apa salahnya saya terima pulsa itu, toh itu rejeki bagi
saya. Lagi pula, atasanku tidak pernah mengetahuinya. Namun, sisi hati kecilku
berkata lain. Saya bertekad untuk mengembalikan pulsa tersebut, bagaimanapun
caranya. Apalah artinya voucher pulsa
telepon senilai Rp 500.000,00 bila dibandingkan dengan kerugian yang diderita
oleh negara akibat ulah nakal perusahaan itu.
Pikiranku
melayang teringat nilai dugaan PPN yang belum disetor oleh perusahaan tersebut.
Dalam surat himbauan tersebut, tersua angka Rp 85 juta. Bukan jumlah yang besar
memang. Tapi, menurut saya, angka tersebut konkret dan sangat “terang”. Jadi,
seharusnya perusahaan tersebut wajib memungut dan menyetor PPN ke kas negara.
Tak
sabar aku menunggu pukul 9 pagi hari itu. Sebab, saya sudah berjanji akan bertemu
dengan pimpinan perusahaan tersebut. Hari itu bisa jadi akan menjadi pembuktian
integritasku. Ini adalah konseling kedua setelah konseling pertama gagal
mencapai kata sepakat. Pimpinan perusahaan tersebut bersikukuh tidak mau
menyetor pajak yang seharusnya disetor. Bila pertemuan kali ini gagal
disepakati kembali maka tindak lanjut yang akan saya ambil adalah usulan untuk
dilakukan kegiatan verifikasi.
Dan,
dugaanku tepat. Ia datang lebih pagi dari jadwal yang ditentukan. Ia tampak
begitu semangat dan percaya diri. Ia meminta maaf kalau sempat mengirimkan
pulsa yang menurutnya tidak banyak sebagai “salam pembuka”. Namun, seperti kata
pepatah ada udang di balik batu. Saya mulai menangkap geliat yang tidak baik.
Ia mulai melunak dan mengajak “damai”. Ia kembali mengiming-imingi saya dengan
sebuah voucher. Kali ini adalah travel voucher wisata. Menurutnya, travel voucher tersebut berlaku untuk 3
orang. Terdiri dari tiket pesawat maskapai penerbangan ternama untuk pulang
pergi dan voucher menginap di hotel berbintang
tiga untuk tiga hari dua malam. Dilengkapi pula dengan fasilitas penjemputan
dari bandara ke hotel. Sebuah tawaran yang menggiurkan.
Lagi-lagi
hatiku gamang. Saya membayangkan istri dan anakku di rumah. Bisa jadi ia akan
sangat senang mendengar kabar bila mendapatkan hadiah jalan-jalan gratis.
Namun, sisi hati kecilku berontak. Di sela-sela konseling, kubuka telepon
selularku. Sebuah foto istri dan anakku tersenyum di sana. Kulihat sorot mata
dan senyum mereka. Tulus sekali. Senyum dan matanya selalu terbayang seolah
ingin mengatakan : “Wahai ayah, kami menginginkan nafkah yang halal dan baik,
bukan nafkah yang kotor dan curang”.
Kututup
telepon selulerku. Saya sampaikan dengan baik bahwa kami dilarang menerima
segala sesuatu dalam bentuk apa pun terkait dengan hubungan kerja maupun tidak.
Dengan segala kerendahan hati, saya menolak. Saya menggeser amplop putih
berlogo sebuah maskapai penerbangan ternama tersebut ke depan tangan pimpinan
perusahaan itu yang sedang bersila di meja. Ia mengernyitkan dahinya. Lalu
tersenyum sinis.
Kami
menandatangani berita acara pelaksanaan konseling sebagai tindak lanjut laporan
kepada atasan. Pada akhir pembicaraan, perusahaan itu tetap tidak bersedia menyetor pajak yang
seharusnya disetor ke kas negara. Baiklah. Maka tindakan yang saya ambil
berikutnya adalah usulan untuk dilakukan kegiatan verifikasi. Ia berlalu pamit.
Raut wajahnya tampak kecewa.
Pada
jam istirahat hari itu, saya berniat untuk mengembalikan voucher pulsa telepon seluler ke pimpinan perusahaan itu. Saya
bergegas menuju Anjungan Tunai Mandiri yang kebetulan berlokasi tidak jauh dari
kantorku. Namun sayangnya beberapa kali saya coba, tetap gagal. Kemudian saya
mencoba ke sebuah gerai toko pengisian pulsa. Hasilnya sama. Tetap gagal.
Menurut penjaga gerai toko tersebut, nomor yang dituju adalah nomor kartu
pascabayar. Deg!
Saya
tak kehabisan akal. Apapun caranya, saya bertekad untuk mengembalikan voucher pulsa yang terlanjur sudah masuk
ke nomor teleponku. Akhirnya terpikir sebuah rencana. Selepas jam kerja sore
itu, saya berniat singgah ke kantor perusahaan tersebut. Kusiapkan amplop
berwarna putih dan sepuluh lembar uang pecahan Rp 50ribu. Pada bagian depan
kanan, tertulis nama pimpinan perusahaan tersebut. Pada bagian depan kiri,
tertulis namaku.
Sore
hari menjelang magrib, saya tiba di depan kantor perusahaan itu. Kantor itu
menempati sebuah ruko berlantai dua. Kantor itu terlihat sepi. Sepertinya
sebagian besar karyawan sudah pulang. Saya menitipkan amplop putih itu kepada
seorang resepsionis yang sedang berkemas pulang. Saya sampaikan bahwa isi surat
tersebut sangat penting dan mohon disampaikan segera. Resepsionis tersebut
mengangguk. Saya berlalu meninggalkan kantor itu. Lega.
Esok
paginya, saya mendapatkan pesan melalui telepon seluler. Isinya kurang lebih
sebuah pertanyaan mengapa saya mengembalikan selembar voucher pulsa telepon bernilai Rp 500ribu dengan sepuluh lembar
uang pecahan Rp 50ribu. Saya tak menjawabnya. Saya hanya bersyukur bahwa amplop
tersebut telah sampai pada alamat yang dituju.
Selang
dua hari berikutnya, di meja saya tergeletak amplop berwarna coklat. Teman saya
memberitahu bahwa baru saja ada tamu menitipkan amplop tersebut untukku. Saya
membukanya pelan-pelan, memastikan bahwa amplop tersebut adalah untukku. Dan,
ternyata isinya tiga lembar salinan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama
perusahaan yang akan saya verifikasi. Nilai SSP tersebut kurang lebih sama
dengan yang tertera dalam materi surat himbauan yang pernah saya buat. Saya
bersyukur. Dengan berbekal keteguhan hati dan doa, akhirnya perusahaan tersebut
mau melunasi kewajiban pajak yang belum
dibayar. Saya tersenyum antara haru dan bangga. Ah, bahagia itu (ternyata)
sederhana….
No comments:
Post a Comment