Friday, June 24, 2016

Kisah Selembar Voucher



Malam hampir meninggalkan jejaknya. Sayup-sayup terdengar suara murottal dari pengeras suara masjid di ujung jalan. Mataku masih terpejam, susah sekali berkompromi dengan pagi. “Kriiiiinggggg…”. Tiba-tiba suara alarm berbunyi. Pukul 03.45 subuh, saatnya bangun pagi. Kuambil telepon seluler. Ada dua pesan belum terbaca di sana. Dari sebuah nomor : 0811-xxx. Nomor tersebut tidak terlalu asing bagiku. Nomor seorang pimpinan perusahaan pemasok alat-alat elektronik yang sedang bermasalah terkait dugaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum disetor.


Pesan pertama berbunyi : “Pengisian pulsa dari Mitracell sebesar Rp 500.000,00 berhasil. Kode Transaksi : 0512469854125…”. Pesan kedua berbunyi : “Maaf Pak, saya kirimi pulsa untuk sekadar menyambung silaturahmi. Terima kasih”. Mataku terbelalak membaca pesan itu. Segera saya beranjak dari tempat tidur : cuci muka, gosok gigi kemudian berwudhu. 


Dalam salat, diam-diam saya merasa gamang. Memikirkan isi pesan yang baru saya baca. Sisi hatiku mengatakan, apa salahnya saya terima pulsa itu, toh itu rejeki bagi saya. Lagi pula, atasanku tidak pernah mengetahuinya. Namun, sisi hati kecilku berkata lain. Saya bertekad untuk mengembalikan pulsa tersebut, bagaimanapun caranya. Apalah artinya voucher pulsa telepon senilai Rp 500.000,00 bila dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh negara akibat ulah nakal perusahaan itu. 


Pikiranku melayang teringat nilai dugaan PPN yang belum disetor oleh perusahaan tersebut. Dalam surat himbauan tersebut, tersua angka Rp 85 juta. Bukan jumlah yang besar memang. Tapi, menurut saya, angka tersebut konkret dan sangat “terang”. Jadi, seharusnya perusahaan tersebut wajib memungut dan menyetor PPN ke kas negara.


Tak sabar aku menunggu pukul 9 pagi hari itu. Sebab, saya sudah berjanji akan bertemu dengan pimpinan perusahaan tersebut. Hari itu bisa jadi akan menjadi pembuktian integritasku. Ini adalah konseling kedua setelah konseling pertama gagal mencapai kata sepakat. Pimpinan perusahaan tersebut bersikukuh tidak mau menyetor pajak yang seharusnya disetor. Bila pertemuan kali ini gagal disepakati kembali maka tindak lanjut yang akan saya ambil adalah usulan untuk dilakukan kegiatan verifikasi. 


Dan, dugaanku tepat. Ia datang lebih pagi dari jadwal yang ditentukan. Ia tampak begitu semangat dan percaya diri. Ia meminta maaf kalau sempat mengirimkan pulsa yang menurutnya tidak banyak sebagai “salam pembuka”. Namun, seperti kata pepatah ada udang di balik batu. Saya mulai menangkap geliat yang tidak baik. Ia mulai melunak dan mengajak “damai”. Ia kembali mengiming-imingi saya dengan sebuah voucher. Kali ini adalah travel voucher wisata. Menurutnya, travel voucher tersebut berlaku untuk 3 orang. Terdiri dari tiket pesawat maskapai penerbangan ternama untuk pulang pergi dan voucher menginap di hotel berbintang tiga untuk tiga hari dua malam. Dilengkapi pula dengan fasilitas penjemputan dari bandara ke hotel. Sebuah tawaran yang menggiurkan.


Lagi-lagi hatiku gamang. Saya membayangkan istri dan anakku di rumah. Bisa jadi ia akan sangat senang mendengar kabar bila mendapatkan hadiah jalan-jalan gratis. Namun, sisi hati kecilku berontak. Di sela-sela konseling, kubuka telepon selularku. Sebuah foto istri dan anakku tersenyum di sana. Kulihat sorot mata dan senyum mereka. Tulus sekali. Senyum dan matanya selalu terbayang seolah ingin mengatakan : “Wahai ayah, kami menginginkan nafkah yang halal dan baik, bukan nafkah yang kotor dan curang”.


Kututup telepon selulerku. Saya sampaikan dengan baik bahwa kami dilarang menerima segala sesuatu dalam bentuk apa pun terkait dengan hubungan kerja maupun tidak. Dengan segala kerendahan hati, saya menolak. Saya menggeser amplop putih berlogo sebuah maskapai penerbangan ternama tersebut ke depan tangan pimpinan perusahaan itu yang sedang bersila di meja. Ia mengernyitkan dahinya. Lalu tersenyum sinis.


Kami menandatangani berita acara pelaksanaan konseling sebagai tindak lanjut laporan kepada atasan. Pada akhir pembicaraan, perusahaan itu tetap tidak bersedia menyetor pajak yang seharusnya disetor ke kas negara. Baiklah. Maka tindakan yang saya ambil berikutnya adalah usulan untuk dilakukan kegiatan verifikasi. Ia berlalu pamit. Raut wajahnya tampak kecewa.


Pada jam istirahat hari itu, saya berniat untuk mengembalikan voucher pulsa telepon seluler ke pimpinan perusahaan itu. Saya bergegas menuju Anjungan Tunai Mandiri yang kebetulan berlokasi tidak jauh dari kantorku. Namun sayangnya beberapa kali saya coba, tetap gagal. Kemudian saya mencoba ke sebuah gerai toko pengisian pulsa. Hasilnya sama. Tetap gagal. Menurut penjaga gerai toko tersebut, nomor yang dituju adalah nomor kartu pascabayar. Deg!


Saya tak kehabisan akal. Apapun caranya, saya bertekad untuk mengembalikan voucher pulsa yang terlanjur sudah masuk ke nomor teleponku. Akhirnya terpikir sebuah rencana. Selepas jam kerja sore itu, saya berniat singgah ke kantor perusahaan tersebut. Kusiapkan amplop berwarna putih dan sepuluh lembar uang pecahan Rp 50ribu. Pada bagian depan kanan, tertulis nama pimpinan perusahaan tersebut. Pada bagian depan kiri, tertulis namaku. 


Sore hari menjelang magrib, saya tiba di depan kantor perusahaan itu. Kantor itu menempati sebuah ruko berlantai dua. Kantor itu terlihat sepi. Sepertinya sebagian besar karyawan sudah pulang. Saya menitipkan amplop putih itu kepada seorang resepsionis yang sedang berkemas pulang. Saya sampaikan bahwa isi surat tersebut sangat penting dan mohon disampaikan segera. Resepsionis tersebut mengangguk. Saya berlalu meninggalkan kantor itu. Lega.


Esok paginya, saya mendapatkan pesan melalui telepon seluler. Isinya kurang lebih sebuah pertanyaan mengapa saya mengembalikan selembar voucher pulsa telepon bernilai Rp 500ribu dengan sepuluh lembar uang pecahan Rp 50ribu. Saya tak menjawabnya. Saya hanya bersyukur bahwa amplop tersebut telah sampai pada alamat yang dituju.


Selang dua hari berikutnya, di meja saya tergeletak amplop berwarna coklat. Teman saya memberitahu bahwa baru saja ada tamu menitipkan amplop tersebut untukku. Saya membukanya pelan-pelan, memastikan bahwa amplop tersebut adalah untukku. Dan, ternyata isinya tiga lembar salinan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama perusahaan yang akan saya verifikasi. Nilai SSP tersebut kurang lebih sama dengan yang tertera dalam materi surat himbauan yang pernah saya buat. Saya bersyukur. Dengan berbekal keteguhan hati dan doa, akhirnya perusahaan tersebut mau  melunasi kewajiban pajak yang belum dibayar. Saya tersenyum antara haru dan bangga. Ah, bahagia itu (ternyata) sederhana….

No comments:

Post a Comment